melihat anak perempuannya masih duduk tanpa
bergerak. Pandangannya masih tertuju ke arah luar,
seolah-olah menunggu.
Dengan lembut ayahnya mengelus punggung Khansa.
"Nak, ayo berdiri, ini sudah malam. Tidak baik untuk
kesehatanmu." Saat ini dia yang harus lebih kuat dari
anaknya.
Khansa masih tidak bergeming, di pipinya dapat terlihat
air mata yang telah mengering. Entah berapa banyak air
mata itu keluar dari tadi.
"Besok dia akan datang kan, Ayah?"
"Besok baju ini masih bagus untuk dipakai kan, Ayah?"
"Besok tata rias dan bapak penghulu masih punya waktu
kan, Ayah?" tanya Khansa menatap ayahnya.
Pria itu menangis melihat keadaan anaknya. "Ayo, kamu
harus istirahat."
Khansa melepaskan pelukan ayahnya. "Dia kemana sih,
Yah? Apa dia sakit? Atau sesuatu yang buruk terjadi
padanya. Kita harus ke rumah dia, Ayah."
Khansa meyakinkan ayahnya, dia beranjak dari duduknya
menuju pagar rumah.
Sebisa mungkin ayahnya mencoba mencegat. "Khansa,
ini sudah malam, Nak."
"Kita harus ke rumahnya, Ayah. Mungkin dia sakit. Ayo,
Ayah." Khansa menarik tangan ayahnya untuk mengikuti.
"Dia tidak akan datang!" bentak ayahnya.