tugasnya. “Mama udah larang dia punya pacar, kok. Kecuali
cowoknya datang langsung ke Papa."
"Kapan Papa ngebolehin begitu?" sergah Sultan
langsung, menolak ide istrinya. “Datang ke Papa itu artinya
cuma satu: melamar. Sayangnya, nggak ada yang boleh nikah
dulu sebelum selesai kuliah. Titik!"
Saka hanya mendengkus masam ketika mendengar
perdebatan orangtuanya. Namun, dia langsung bersyukur saat
tahu topik tersebut mampu mengalihkan perhatian mama dan
papanya dari penolakan halus Saka beberapa saat lalu, terkait
ide perjodohan antara dirinya dan Anggi. Dengan gerak pelan,
Saka bangkit dari duduknya untuk kabur dari sana. Sayang,
mamanya jauh lebih peka dan menghentikan langkahnya
dengan sebuah permintaan lainnya.
"Pengin, dong, kenalan sama pacar kamu. Coba sesekali
bawa ke sini, ya, Bang!"
Saka tahu kalau mamanya masih tidak percaya dengan
alasan dari penolakannya, si gadis pilihan Saka. Tapi Saka juga
enggan mengada-ada lebih dari ini. Dia akan memilih jujur saja
biar mamanya tidak lagi semakin cerewet.
"Bukan pacar, Ma. Masih temen. Mana bisa dibawa ke
rumah?" gerutunya sambil menggaruk kepalanya, merasa
jengah.
"Nah, kalau memang masih temen ngapain..."
"Ma, sudah.
Perjanjiannya, nggak ada desakan. Ingat?" tegur Sultan lagi.
Kali ini dia menatap istrinya dengan raut serius.
Ranti yang langsung mengenali tatapan suaminya yang
menunjukkan kalau pria itu tidak mau dibantah, memilih
menutup mulutnya dan menatap Saka dengan sorot menyesal.
Mulutnya bergerak mengucapkan maaf tanpa suara, membuat
Saka tertawa kecil melihatnya.
Secerewet dan se-bossy apa pun mamanya, tetap akan
tunduk dalam kuasa papanya. Kadang Saka merasa lucu saat
melihat interaksi kedua orangtuanya tersebut.
Buku 1
Buku 2