Minara mundur selangkah hingga punggungnya menempcl tcmbok di belakang,
memandangnya dcngan perasaan sedikit cemas dan takut pada anak lclaki itu.
“Nyusahin emang nih. Ayo, buru pulang! jangan bikin aku tambah kesel, deh!”
Rasanya Minara ingin berteriak atau menghentakkan tangannya, saat dengan kasar anak itu menccngkram lalu menggeretnya pulang dengan pcnuh kesal. Namun sepcrti biasa, suara Minara tertahan di ujung tenggorokan. Suara yang telah lama hilang yang ia sendiri bahkan ragu apakah pernah memilikinya.
“Bun! Bunda!” panggil anak lelaki itu keras.
Minara menelan lMlEAénlMukkan kepala sebisanya ketika melihat pintu kayu berwama cokclat dengan ukiran indah yang rumit. Pintu rumah anak lelaki, yang kini masih mencengkram tangan Minara erat.
“Iya, Nak! Ya Tuhan kebiasaan pulang bukannya salam malah tereak-tcrcak. Ini kamu masuk rumah lho, bukan lagi main di terminal. Lagian, aduh amit-amit kamu main di tcr-lho, Jyotika kok dj sini?” Suara lembut yang bcrasal dari wanita yang dipanggil anak Ielaki itu, terhentj.
“Ni bocah abis digangguin anak gang, Bun. Udah dikasih tahu nggak usah ke sana masih ngcycl aja. Bunda urusin, kasih makan. Badan kerempeng baju rombeng gitu, gimana nggak dikira gembcl.”