Meskipun saat itu bulan Oktober, udara masih hangat-
salah satu musim panas Indian Colorado aneh yang bagaikan
tanpa akhir. Walaupun sebagian besar temannya di surat kabar
menyukai cuaca yang hangat dan sinar matahari, Tessa ber-
harap musim panas segera usai dan salju turun. Ia menyukai
hawa dingin, aroma segar salju yang baru jatuh, dan perubahan
lanskap dari kota berwarna kelabu kotor menjadi dunia putih
murni cemerlang dalam semalam.
Ia dibesarkan di Selatan dan baru pertama kali membuat
orang-orangan salju setelah pindah ke Denver tiga tahun lalu,
pada usia dua puluh lima. Meskipun tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan masa kanak-kanaknya yang suram, itu
menjadi semacam simbol bagi segala hal. Badai salju pertama
setiap tahun menjadi semacam ritual bagi Tessa, sebuah pe-
rayaan tahunan pelariannya.
Tahun ini salju datang terlambat.
Ia bergegas melintasi lahan parkir dan melewati pintu kaca.
Aroma kota berganti bau hot dog basi, cairan pembersih buatan
pabrik-dan kopi. Memotong antrean pendek di kasir, ia meng-
ikuti penciumannya menuju konter belakang dan menemukan
poci kaca setengah penuh berisi cairan yang tampak seperti oli
motor bekas.
Ia berhenti, menatap cairan itu, akal sehatnya bertempur
dengan hasrat. Ia menatap penjaga toko, pria paruh baya
berambut abu-abu pendek dan berhidung bulat. "Sudah berapa
lama kopi itu?"
"Mana mungkin kutahu?" Si penjaga toko memindai rokok
seorang wanita, menatapnya pun tidak.
"Oh, entahlah." Tessa mengangkat poci, mengendus isinya,