Namaku Selena.
Aku lahir di Distrik Sabit Enam, dua ratus kilometer utara
Kota Tishri, Klan Bulan. Itu bukan kawasan yang maju dan
canggih. Itu kawasan kumuh, padat dan tertinggal.
Aku yatim piatu sejak kecil. Orang tua-ku petani jagung.
Ayahku meninggal saat aku berusia empat belas tahun,
karena sakit keras. Dia memiliki sakit bawaan, sejak kecil
telah menderita. Keluarga kami miskin, kami tidak mampu
membawa Ayah ke Pusat Pengobatan Mutakhir Kota Tishri.
Setelah berjuang selama berbulan-bulan, Ayah meninggal,
dimakamkan di Distrik Sabit Enam, pemakaman penduduk
strata rendah. Kami tidak punya uang untuk mengirim Ayah
ke dalam sistem pemakaman Kota Tishri yang modern.
Ibuku menyusul Ayah saat usiaku lima belas tahun. Dia
sakit-sakitan sejak Ayah meninggal. Awalnya, hatinya yang
sakit, separuh semangatnya hilang, kemudian menyusul
fisiknya. Hilang keinginan sembuh, tidak bertahan lama,
tidak ada biaya pengobatan, Ibu meninggal di suatu malam
saat bulan tertutup awan pekat. Aku ingat sekali kejadian
malam itu, dengan senyum tipis Ibu berkata kepadaku,
"Selena, jadilah anak yang kuat. Kamu akan sendirian
menghadapi kehidupan."
Aku mengangguk pelan.
"Ibu akan pergi, Nak, seperti Ayahmu. Maafkan Ibu yang
tidak bisa membesarkanmu dengan baik."
Aku kembali mengangguk pelan, aku tidak menangis. Sejak
kecil aku tidak menangis, bahkan saat lahir aku pun tidak
menangis. Kejadian langka yang kemudian membuatku
kadang dipanggil, 'Anak yang tidak pernah menangis'.
Aku lahir di Distrik Sabit Enam, dua ratus kilometer utara
Kota Tishri, Klan Bulan. Itu bukan kawasan yang maju dan
canggih. Itu kawasan kumuh, padat dan tertinggal.
Aku yatim piatu sejak kecil. Orang tua-ku petani jagung.
Ayahku meninggal saat aku berusia empat belas tahun,
karena sakit keras. Dia memiliki sakit bawaan, sejak kecil
telah menderita. Keluarga kami miskin, kami tidak mampu
membawa Ayah ke Pusat Pengobatan Mutakhir Kota Tishri.
Setelah berjuang selama berbulan-bulan, Ayah meninggal,
dimakamkan di Distrik Sabit Enam, pemakaman penduduk
strata rendah. Kami tidak punya uang untuk mengirim Ayah
ke dalam sistem pemakaman Kota Tishri yang modern.
Ibuku menyusul Ayah saat usiaku lima belas tahun. Dia
sakit-sakitan sejak Ayah meninggal. Awalnya, hatinya yang
sakit, separuh semangatnya hilang, kemudian menyusul
fisiknya. Hilang keinginan sembuh, tidak bertahan lama,
tidak ada biaya pengobatan, Ibu meninggal di suatu malam
saat bulan tertutup awan pekat. Aku ingat sekali kejadian
malam itu, dengan senyum tipis Ibu berkata kepadaku,
"Selena, jadilah anak yang kuat. Kamu akan sendirian
menghadapi kehidupan."
Aku mengangguk pelan.
"Ibu akan pergi, Nak, seperti Ayahmu. Maafkan Ibu yang
tidak bisa membesarkanmu dengan baik."
Aku kembali mengangguk pelan, aku tidak menangis. Sejak
kecil aku tidak menangis, bahkan saat lahir aku pun tidak
menangis. Kejadian langka yang kemudian membuatku
kadang dipanggil, 'Anak yang tidak pernah menangis'.