secantik, seanggun, dan semenawan Kak Zeeta. Memangnya aku
peduli?
"Serius kamu kayak gini?" tanya Kak Zeeta yang sudah cantik
dengan gaun malamnya yang berwarna biru laut. Dia meneliti
tubuhku dari atas sampai bawah.
"Memang kenapa sih, Kak? Kok heran aku pakai gini. Kan emang
biasanya gini."
"Ya ampun, Bunga! Ini kita mau makan malam sama keluarga
teman bisnis Papa. Kenapa kamu malah kayak gini? Mama kan udah
naruh gaun di kamarmu. Kok nggak dipakai?" tanya Mama yang
berjalan menghampiri kami. Ekspresi wajah Mama tampak terkejut,
dan sekarang mata Mama pun sudah sebesar labu. Oh ya ampun!
"Tapi Ma, Bunga nggak nyaman pakai gituan."
"Mama nggak mau tahu, kamu pokoknya harus ganti sekarang.
Papa sama Mang Wawan udah nunggu di mobil, tuh."
"Tapi, Ma..."
"Se-ka-rang!"
Kalau nyonya besar yang bawel sudah begini, se-tomboinya aku
kata orang orang, mana berani membantah Mama. Dengan kesal aku
naik ke atas, lalu masuk kamar dan langsung ganti baju dengan gaun
malam berwarna maroon yang sudah Mama siapkan khusus untukku
malam ini. Kak Zeeta pun bantu memoleskan make up di wajahku.
Lima belas menit perjalanan, akhirnya kami sampai juga di
tempat tujuan. Di sana sudah berdiri menunggu sepasang suami istri
yang seumuran Mama Papa, dan juga ada Mas Gilang. Aku pernah
beberapa kali bertemu dengannya di kantor Papa. Perusahaan
mereka bekerja sama dengan perusahaan milik Papa. Seperti biasa
dia kelihatan tampan, kali ini dengan kemeja abu-abu yang dibalut
jas berwarna hitam. Ya, Mas Gilang itu tampan dan mapan. Tipe pria
sempurna yang banyak dicari oleh wanita.
Astaga! Kenapa aku jadi memujinya terus sih?
peduli?
"Serius kamu kayak gini?" tanya Kak Zeeta yang sudah cantik
dengan gaun malamnya yang berwarna biru laut. Dia meneliti
tubuhku dari atas sampai bawah.
"Memang kenapa sih, Kak? Kok heran aku pakai gini. Kan emang
biasanya gini."
"Ya ampun, Bunga! Ini kita mau makan malam sama keluarga
teman bisnis Papa. Kenapa kamu malah kayak gini? Mama kan udah
naruh gaun di kamarmu. Kok nggak dipakai?" tanya Mama yang
berjalan menghampiri kami. Ekspresi wajah Mama tampak terkejut,
dan sekarang mata Mama pun sudah sebesar labu. Oh ya ampun!
"Tapi Ma, Bunga nggak nyaman pakai gituan."
"Mama nggak mau tahu, kamu pokoknya harus ganti sekarang.
Papa sama Mang Wawan udah nunggu di mobil, tuh."
"Tapi, Ma..."
"Se-ka-rang!"
Kalau nyonya besar yang bawel sudah begini, se-tomboinya aku
kata orang orang, mana berani membantah Mama. Dengan kesal aku
naik ke atas, lalu masuk kamar dan langsung ganti baju dengan gaun
malam berwarna maroon yang sudah Mama siapkan khusus untukku
malam ini. Kak Zeeta pun bantu memoleskan make up di wajahku.
Lima belas menit perjalanan, akhirnya kami sampai juga di
tempat tujuan. Di sana sudah berdiri menunggu sepasang suami istri
yang seumuran Mama Papa, dan juga ada Mas Gilang. Aku pernah
beberapa kali bertemu dengannya di kantor Papa. Perusahaan
mereka bekerja sama dengan perusahaan milik Papa. Seperti biasa
dia kelihatan tampan, kali ini dengan kemeja abu-abu yang dibalut
jas berwarna hitam. Ya, Mas Gilang itu tampan dan mapan. Tipe pria
sempurna yang banyak dicari oleh wanita.
Astaga! Kenapa aku jadi memujinya terus sih?