Mata itu berkaca-kaca. Menatap satu sosok yang balas menatapnya dalam diam juga penuh penantian. Bahkan sekarang lutut telanjangnya telah gemetar, juga bibir yang bergemelatuk ketakutan. Inikah caranya untuk mati? Sungguh dia tidak pernah tahu.
"Mom. Kuharap kau bahagia saat tahu bebanmu telah menghilang." Bisik sosok itu dalam hati. Jika saja dia bisa memberikan surat wasiatnya. Tapi tidak, sosok dingin itu tidak akan membiarkan dia menulis. Karena sekarang apapun rencana yang telah dia susun telah dia persiapkan.
Dua detik setelahnya dia melihat motor Ducati telah ada di jangkau pandangnya. Mungkin hanya beberapa meter darinya. Dan penunggangnya adalah sosok lain yang dirinya ketahui adalah sahabat sosok gelap itu.
"Sesuai perintanmu, Brian!" Seruan itu adalah milik si penunggang kuda besi tersebut.
Crystal kembali menatap sosok Brian yang sedang duduk di pinggir jalan dengan menaikkan kaki keatas meja dan mulai meminum Vodka. Crystal meremas gaunnya, tertunduk dalam dengan airmata yang akan jatuh sebentar lagi. Dia tidak sanggup lagi. Tidak lagi. Malam ini dia akan mati.
"Angkat wajah itu, aku tidak ingin kau menunduk." Perintah itu mutlak. Brian bukan sosok yang bisa di bantah, karena
laki-laki itu bisa lebih kejam daripada yang ia lakukan sekarang.
Crystal mengangkat wajahnya dengan tubuh gemetar. Mencoba melihat kearah motor yang sudah di nyalakan dan siap melaju kearahnya. Tatapannya buram, airmatanya telah mendesak keluar. Sekarang bahkan pipinya telah basah. Dia akan mati. Dia akan mati. Itu bagai rapalan mantra penguat untuknya. Setidaknya jika ia mati, tidak akan ada lagi yang bisa membuatnya terluka.
Motor itu telah melaju, kecepatannya bagai cheetah. Bahkan dua kali kedipan mata, motor itu telah siap menabrak tubuhnya. Crystal menggigit bibirnya hingga dia bisa merasakan darah segar mengalir di bekas gigitannya. Saat motor itu hampir menyambar tubuhnya, suara Pluit yang entah datang dari mana membuat si penunggang Iangsung berbelok arah. Tapi ketakutan gadis itu membuatnya terjatuh hingga lututnya menggesek aspal kasar yang membuat lutut itu tergores.
Crystal meraih dadanya, sesenggukan dalam tangisnya dan mulai meratapi dirinya yang memiliki nasib sedemikian rupa.
Saat dia masih sibuk dalam tangisnya, tiba-tiba inderanya mencium aroma tubuh yang sangat di kenalnya. Dia mendongak menemukan Brian telah jongkok di hadapannya. Dengan satu tatapan tajam yang membuat dadanya berdegup ketakutan