"Sebenarnya lo nggak perlu khawatir dengan keadaan gue,
Ta. Karena gue sudah memperhitungkan serta mempersiapkan
semuanya dari awal kok. Bahkan sedikit banyaknya gue sudah tahu
tentang semua hal yang terkait dengan calon bapak mertua gue itu,"
terangku sambil mulai kembali menikmati tahu isi dengan cabai-
cabainya itu.
"Pokoknya kalau sampai nanti lo stres terus nangis kayak orang
gila karena punya dosbing seorang Prof. Radjiman, gue nggak mau
dengerin curhatan lo!"
"Duh, Tata .. Lo tega banget sih sama gue," rengekku yang juga
mulai merasa kepedesan lagi. Ah, gila nih rasanya cabai rawit merah!
Seusai aku menenggak habis sisa air di botol, "Eh, Tata! Tata!
Bagi minuman lo dong! Sumpah ini tuh pedes banget dan air gue
sudah habis nih! Sssssttss
hah .. hah ." Meski terlihat kesal,
nyatanya Tata tetap berbaik hati membagi jus jeruknya untukku. Ab,
segar!
"Ta, kalau nanti gue nangis karena Prof. Radjiman, lo masih
mau dengerin curhatan gue kan?" tanyaku dengan nada merajuk dan
juga wajah yang kubuat sememelas mungkin.
"Nggak!" jawabnya tegas.
"Nyebelin deh!" seruku sambil melempar batang cabai ke
arahnya dan karena Tata kini terlihat sibuk dengan handphonenya,
maka aku pun memilih untuk kembali menikmati sisa gorengan
yang ada di hadapanku. Ternyata banyak juga yang aku beli tadi.
Buktinya setelah aku makan tiga bakwan dan satu tahu isi, masih ada
dua tempe mendoan dan juga dua risol di sini. Ck!
Melihat Tata yang masih sibuk dengan ponselnya, aku yang
sedang mengunyah tempe mendoan pun mengingat ke saat di mana
aku bertemu dengan Mas Dear untuk pertama kalinya. Saat di man
May Jen - My Vem
aku juga mengakui bahwa pangeran tampan dari negeri dongeng
nyata.
"Entschuldigung... Ab, maaf. Maksud saya, permisi," ujar seorang