pecah. Entah dadanya. Mungkin biru lebam. Ioko tidak tahu. Dan tidak berani menanyakannya.
Semua gara-gara Joko. Gara-gara perkelahiannya dengan Gino!
Hari itu Joko pulang dengan muka lebam dan punggung membiru. lbunya marah sekali melihatnya.
”Berantem lagi?” belalaknya menahan marah yang bercampur penyesalan. ”Joko! Joko! Kamu nggak nyadar juga ibumu cuma seorang babu?”
Justru karena Ibu seorang babu, aku harus berkelahi, geram Joko dalam hati ketika dia sedang mengompres wajahnya dengan es. Karena aku harus membela diri. Tidak mau dihina seenaknya!
Seperti tahu apa penyebab perkelahian anaknya, ibunya mengeluh panjang.
”Nggak ada gunanya berantem, Joko.”
”Tapi dia menghina saya, Bu!”
"Kamu memang orang miskin. Anak babu. Kenapa malu kalau ada yang bilang bcgitu?”
"Saya tidak mau dihina terus-terusan!"
”Makanya kamu mcsti sekolah tinggi. Supaya jadi orang. Supaya jangan dihina lagi. Bukan malah berantem! Dengan berkelahi begini, kamu nggak dapat apa-apa!”
Tapi aku dapat pengalaman baru, pikir Ioko ketika dia sedang berbaring di dipannya yang sempit. Aku merasakan halusnya kulit Wulan. Harumnya aroma rambutnya....
Biasanya Ioko tidak pernah memperhatikan Wulan. Dia cuma ketua kelas yang tegas. Yang