Aku tidak repot-repot menjawab. Peluangku mendekati kamar
Reggie Crawley yang selalu teler sama besar dengan Simon yang
memiliki hati nurani.
"Lagi pula, itu gara-gara ulah mereka sendiri. Kalau orang tidak
berbohong dan selingkuh, bisnisku bangkrut." Mata biru dingin
Simon mengamati langkahku yang memanjang. "Kau buru-buru
mau ke mana? Menyelimuti diri dalam kejayaan ekstrakuriku-
ler?"
Itu mauku. Seolah mengejek, satu notifikasi muncul di pon-
selku: Latihan matlet, 15.00, Epoch Coffee. Diikuti pesan dari salah
satu rekan satu timku: Evan di sini.
Tentu saja dia di sana. Matlet imut itu-tidak seoksimoron
yang mungkin kaupikirkan-sepertinya hanya datang setiap kali
aku tak bisa.
"Tidak juga," sahutku. Seperti biasa, terutama belakangan ini,
aku berusaha memberi Simon informasi seminimal mungkin.
Kami melewati pintu besi hijau menuju tangga belakang, garis
pemisah antara kekumuhan Bayview High asli dengan sayap
barunya yang cerah dan terbuka. Setiap tahun makin banyak
saja keluarga kaya yang tergusur dari San Diego dan tinggal tak
sampai sepuluh kilometer dari Bayview, berharap uang pajak
mereka akan membelikan pengalaman sekolah yang lebih baik
daripada langit-langit berondong jagung dan lantai linoleum
baret-baret.
Simon masih di belakangku ketika aku tiba di lab Mr. Avery
di lantai tiga, dan aku separuh berbalik sambil bersedekap. "Me-
mangnya kau tidak punya tujuan lain?"
"Ada, sih. Detensi," jawab Simon, dan menungguku terus ber-
jalan. Begitu aku malah meraih kenop, dia meledakkan tawa.
"Kau bercanda, ya? Kau juga? Apa kesalahanmu?"
Satu Pembohong
11
"Aku disalahkan dengan tidak adil," gumamku, dan menarik
pintu hingga terbuka. Tiga murid lain sudah duduk di dalam,