"Sarapan dulu, Sayang," tawar Ibu saat aku siap dengan
pakaian kuliahku.
"Tidak sempat, Ibu!" sahutku langsung. "Aku memakannya
di kereta saja." Aku meraih setangkup roti isi selai kacang dan
menggigitnya. Aku berlari menuju stasiun.
Sepanjang perjalanan, aku bisa merasakan jantungku
berdegup tidak tenang. Profesor Satoshi tidak segan membuatku
harus mengulang kelasnya di semester depan jika aku terlambat di
kelasnya lebih dari dua kali. Jika aku bisa sampai di kampus tepat
waktu, maka bisa dipastikan aku selamat.
Dengan terburu aku masuk ke dalam kampus, beberapa
kali menabrak mahasiswa lain yang aku sendiri tidak sempat untuk
meminta maaf.
"Ah, selamat!" kataku lega saat aku berhasil masuk ke
dalam kelas dan Profesor Satoshi tidak terlihat batang hidungnya.
"Siapa yang bilang kau selamat?"
Aku membeku mendengar sahutan dari belakangku.
Dengan jantung yang berdegup cepat, aku membalikkan tubuhku.
Seketika aku pucat. Profesor Satoshi dengan cengiran penuh
kemenangan berdiri di belakangku.
"Kau punya kesempatan satu kali lagi, Nona Leroy. Jangan
kira kau tidak terlambat. Lihat tas saya di kursi sana? Saya datang
lebih dulu darimu dan saya hanya keluar sebentar. Nona Leroy,
waktu adalah uang. Jika kau menghambur-hamburkan waktumu
maka kau tahu sendiri artinya."
Aku hanya bisa menunduk pasrah mendengarkan omelan
Profesor Satoshi di depan mahasiswa lain. Mataku melirik Natalia,
sahabatku sejak pertama kali menginjak bangku kuliah. Dia terkikik
IN ANOTHER WOR
di bangku paling belakang. Aku cemberut. Pada akhirnya Profesor