Hujan turun begitu deras, membuat Brenda terkekeh. ‘Langit :edang mengey'ek, Heb?’ badn wanita itu.
Miris bukan, nasibnya? Langit saja mcnertawai dirinya. Mengiriminya air hujan agar logikanya kembali pada tempat yang sebenarnya. Mengguyur kepalanya agar dia bisa kembali waras dan tak lagi menggila.
Body}; [0, Brett. Bodob.’
Sejujumya, Brenda bcnci mengakui ini. Mengakui kebodohannya menunggu laki-laki yang sudah jelasjclas mengingkari janjinya.
“Kamu ingkar janji, Yo,” lirih Brenda. chua kakinya masih bcrdiri di tempat yang sama. Tempat yang laki-laki itu perintahkan untuk menunggu.
Tapi lima menit yang lalu, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, laki-laki itu berlalu begitu saja, meninggalkan dirinya yang dengan setia menanti lakj-laki itu menjemput. Mirisnya, lakj-laki itu seolah tidak melihat keberadaannya di depan gerbang sekolah. Terlalu bahagiakah laki-laki itu sehingga melihat dirinya saja pun tidak?
“Brenda ....”
Brenda membalikkan tubuhnya saat mendengar suara laki-laki memanggil namanya. Matanya berkaca-kaca melihat sosok yang saat ini berdiri di hadapannya. “Bay,” lirihnya.
Bayu, nama laki-laki yang memanggil Brenda. Laki-laki itu melangkahkan kakinya mendekat, kc arah di mana Brenda berdiri. Tangannya terulur, menggeser atap payung yang tadi melindunginya, kc atas kepala Brenda. Membiarkan djrinya sendiri terguyur air hujan untuk meljndungi Wanita di hadapannya.
“Bay!” sentak Brenda diiringi gerakan menjauhkan payung itu. Dengan gerakan cepat, dia memeluk tubuh Bayu. Mcmbuat laki-laki itu memundurkan kakinya satu langkah karena pelukannya yang tiba-tiba.