di pikiranku saat ini. Aku harus melawan. Ini rumahku, orang asing itu tak berhak mengacaukannya. Meskipun aku wanita hampir berkepala lima, aku bukan sosok Iemah. Salah besar jika ia menganggapku akan kalah berhadapan dengannya. Aku memang tak bisa taekwondo atau semacamnya seperti putraku, tapi aku punya senjata. Aku ingat dia memiliki tongkat bisbol yang ia tempatkan di samping Iemari pakaian. Aku hanya perlu masuk ke kamarnya, mengambil tongkat itu dan kembali ke dapur, bersiap untuk perlawanan yang sesungguhnya.
Aku mengernyit menyadari pintu kamar putraku telah terbuka. Apakah perampok itu sudah mengacak-acak kamarnya Iebih dulu? Aku masuk ke dalam dengan langkah agak berjinjit, sesekali memandang ke arah dapur. Orang berengsek itu belum keluar. Aku bisa mendengar bunyi pisau menimpa benda keras dengan suara ketukan teratur dari sana. Kurasa aku harus bergegas.
Benar saja. Ketika aku masuk ke dalam kamar putraku, segala sesuatu tampak sangat berantakan. Beberapa buku tersebar di atas lantai. Kaus dan celana menumpuk di salah satu sudut ranjang, belum disetrika. Yang membuatku terperanjat adalah Iemarinya. Pintu Iemari itu terbuka lebar, seperti baru saja ada orang yang mencari-cari sesuatu dari tumpukan pakaian di dalamnya.
Tongkat bisbol di samping Iemari segera kuraih, kubawa dengan langkah cepat keluar dari kamar. Menuju ke dapur dengan tekad kuat dan gigi gemeletuk, tangan kananku menggenggam erat pegangan tongkat itu. Aku harus kuat ketika sampai di dapur nanti. Aku tak boleh kalah di dalam rumahku sendiri dari seorang lelaki berengsek yang mengacak-acaknya sembarangan.
Aku mengernyit menyadari pintu kamar putraku telah terbuka. Apakah perampok itu sudah mengacak-acak kamarnya Iebih dulu? Aku masuk ke dalam dengan langkah agak berjinjit, sesekali memandang ke arah dapur. Orang berengsek itu belum keluar. Aku bisa mendengar bunyi pisau menimpa benda keras dengan suara ketukan teratur dari sana. Kurasa aku harus bergegas.
Benar saja. Ketika aku masuk ke dalam kamar putraku, segala sesuatu tampak sangat berantakan. Beberapa buku tersebar di atas lantai. Kaus dan celana menumpuk di salah satu sudut ranjang, belum disetrika. Yang membuatku terperanjat adalah Iemarinya. Pintu Iemari itu terbuka lebar, seperti baru saja ada orang yang mencari-cari sesuatu dari tumpukan pakaian di dalamnya.
Tongkat bisbol di samping Iemari segera kuraih, kubawa dengan langkah cepat keluar dari kamar. Menuju ke dapur dengan tekad kuat dan gigi gemeletuk, tangan kananku menggenggam erat pegangan tongkat itu. Aku harus kuat ketika sampai di dapur nanti. Aku tak boleh kalah di dalam rumahku sendiri dari seorang lelaki berengsek yang mengacak-acaknya sembarangan.