Warm jingga menghias langit sore. Pemandangan yang langka mengingat Bandung yang belakangan ini tcrus
mencrus diguyur hujan. Biasanya hanya dengan melihat semburat kuning di langit mampu membuatku mcrasa bahagia. Tapi saat ini, satu-satunya yang paling kuinginkan adalah bisa scgcra masuk kc dalam rumah.
Tanganku bergerak ccpat, terburu-buru sampai mengumpat saat mcncari kunci di dalam tas punggung. Aku harus segera masuk karcna aku scdang menghindari bertemu sescorang. Din, lclaki kaku yang tidak lama lagi akan menjadi pcndamping hidupku.
“Kamu dari mana aja?" Suara datar dari arah bclakang hampir saja mcmbuatku menjatuhkan rangkaian kunci yang akhirnya tcrgcnggam di tangan.
Mataku mclirik sckilas kc bclakang lulu kcmbali bcr~ konscntrasi mcmasukkan kunci agar pintu segcra tcr~ buka. “Dari rumah teman, ada tugas kelompok yang hams dikumpulkan bcsok."
Lelaki bertubuh tinggi bcsar itu berjalan mcndekat lalu mcngempaskan tubuhnya di kursi teras dcngan tenang. Bola matanya mcmperhatikanku yang sej ak tadi belumjuga berhasil membuka pintu. Aku tak bisa berkelit, salah sntu kclemnhankil memang sulit berpikir tcnang dalam kendaan panik.
“Bisa?”
Pertanyaannya membuatku semakin senewcn.
“Bisa,” tcgasku.
Lelaki itu bangkit dari duduknya lalu menghampiriku. “Sampai tahun dcpan juga tidak akan terbuka."
Aku mendcngus pclan, gcngsi mengakui tetapi kcnyataannya mcmang tidak ada satu pun kunci di tnngnnku yang bisa membukn pintu rumah. “Mas mau apa sih kc sini?”
Dari dalam saku jaketnya, lelaki itu mgngcluarkan serangkaian kunci yang saling terkait dalam scbuah gantungan bcrbcntuk pembuka botol. “Kunci rumah kita tertuknr," balasnya tenang.
Tubuhku mematung, mataku bergantian mcmpcrhatikan kunci di tangan dan yang berada dalam gcnggaman lclaki ituBodob! Bagaimana aku bisa tidak sadar kalau bentuk kunci di tanganku sangat berbeda dengan bcntuk kunci rumahku? Kepalaku memutar kcmbali ingatan kejadian di pagi hari saat
lclaki ini datang dan aku yang terburu-buru keluar rumah karcna sudah terlambat kuliah. Kami berbicara sebentar di
mencrus diguyur hujan. Biasanya hanya dengan melihat semburat kuning di langit mampu membuatku mcrasa bahagia. Tapi saat ini, satu-satunya yang paling kuinginkan adalah bisa scgcra masuk kc dalam rumah.
Tanganku bergerak ccpat, terburu-buru sampai mengumpat saat mcncari kunci di dalam tas punggung. Aku harus segera masuk karcna aku scdang menghindari bertemu sescorang. Din, lclaki kaku yang tidak lama lagi akan menjadi pcndamping hidupku.
“Kamu dari mana aja?" Suara datar dari arah bclakang hampir saja mcmbuatku menjatuhkan rangkaian kunci yang akhirnya tcrgcnggam di tangan.
Mataku mclirik sckilas kc bclakang lulu kcmbali bcr~ konscntrasi mcmasukkan kunci agar pintu segcra tcr~ buka. “Dari rumah teman, ada tugas kelompok yang hams dikumpulkan bcsok."
Lelaki bertubuh tinggi bcsar itu berjalan mcndekat lalu mcngempaskan tubuhnya di kursi teras dcngan tenang. Bola matanya mcmperhatikanku yang sej ak tadi belumjuga berhasil membuka pintu. Aku tak bisa berkelit, salah sntu kclemnhankil memang sulit berpikir tcnang dalam kendaan panik.
“Bisa?”
Pertanyaannya membuatku semakin senewcn.
“Bisa,” tcgasku.
Lelaki itu bangkit dari duduknya lalu menghampiriku. “Sampai tahun dcpan juga tidak akan terbuka."
Aku mendcngus pclan, gcngsi mengakui tetapi kcnyataannya mcmang tidak ada satu pun kunci di tnngnnku yang bisa membukn pintu rumah. “Mas mau apa sih kc sini?”
Dari dalam saku jaketnya, lelaki itu mgngcluarkan serangkaian kunci yang saling terkait dalam scbuah gantungan bcrbcntuk pembuka botol. “Kunci rumah kita tertuknr," balasnya tenang.
Tubuhku mematung, mataku bergantian mcmpcrhatikan kunci di tangan dan yang berada dalam gcnggaman lclaki ituBodob! Bagaimana aku bisa tidak sadar kalau bentuk kunci di tanganku sangat berbeda dengan bcntuk kunci rumahku? Kepalaku memutar kcmbali ingatan kejadian di pagi hari saat
lclaki ini datang dan aku yang terburu-buru keluar rumah karcna sudah terlambat kuliah. Kami berbicara sebentar di